Penulis: Yoni Haris Setiawan

(Trainer & Motivator Edukasi Literasi Indonesia PPQM Lembaga TEMALI)

Saat ini masjid dengan berbagai gaya arsitektur nan megah dibangun dipelbagai tempat. Hal ini untuk kenyamanan pada jamaah dalam menunaikan ibadah. Apakah kemegahannya disertai ruang perpustakaan?

Bekasi.baitulhuda.org.news. (28/6/2023). Penulis pernah singgah di beberapa masjid untuk menunaikan ibadah shalat dzuhur. Usai shalat dzuhur rehat di halaman masjid sambil menengok ke kanan dan kiri mencari petunjuk ruang perpustakaan. Ternyata tidak terdapat ruang perpustakaan yang dicari. Seorang pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) menghampiri dan memberitahukan bahwa pintu dan gerbang masjid akan ditutup. Masjid akan dibuka kembali pada waktu shalat.

Penulis mencoba menggali informasi lebih lanjut kepada jamaah lainnya terkait hal itu. Semua jamaah yang Penulis konfirmasi menyatakan bahwa masjid memang hanya dibuka di waktu shalat lima waktu saja. Dan tidak ada kegiatan-kegiatan lainnya. Padahal posisi masjid sangat strategis sekali, berada dipinggir jalan dan padat penduduk. Ada sejumput tanya yang mengusik Penulis, apa yang terjadi dengan pengelolaan masjid (DKM) tersebut. Mungkin di tempat tinggal pembaca yang budiman masih ada juga masjid yang pengelolaannya sama seperti itu?

Dirangkum dari beberapa sumber, berkaca pada zaman Rasulullah SAW, masjid adalah bangunan pertama yang didirikan Rasulullah SAW saat tiba di Yatsrib (Madinah) dalam peristiwa hijrah, yaitu Masjid Quba, yang hingga kini masih berdiri kukuh di Kota Madinah, Arab Saudi. Setelah Masjid Quba, Nabi Rasulullah SAW dan para sahabat mendirikan Masjid Nabawi. Dalam sejarahnya tercatat bahwa di zaman Rasulullah SAW masjid telah difungsikan sebagai pusat ibadah, dakwah, pendidikan dan pengajaran, penyelesaian problematika umat dalam aspek hukum (peradilan), pemberdayaan ekonomi umat melalui Baitul Mal. Selain itu, sebagai tempat pertemuan, bermusyawarah, perlindungan, kegiatan sosial, pengobatan orang sakit, latihan dan mengatur strategi perang.

Perpustakaan masjid pertama dan tertua di dunia dibangun pada abad ke-8 Masehi di Masjid Kota Damaskus di Suriah. Pada saat itu, Masjid Kota Damaskus merupakan pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan terbesar di dunia. Jika demikian, aktifitas kajian-kajian keilmuan (saat ini disebut dengan aktifitas literasi) telah dilakukan Rasulullah SAW di masjid, walaupun secara bentuk fisik belum terdapat ruang perpustakaan yang terkelola sebagaimana mestinya. Ini memberikan keteladanan kepada kita semua, agar fungsi masjid tidak hanya sebatas tempat ibadah lima waktu.  Lebih dari itu sebagai pusat informasi, ilmu pengetahuan, melahirkan tulisan-tulisan, dan peradaban literasi yang mencerdaskan jamaah.

Adapun fungsi perpustakaan masjid diantaranya adalah sebagai tempat studi atau sumber informasi bagi jamaah tentang pengetahuan umum dan keagamaan, sebagai sarana menciptakan gemar membaca bagi masyarakat, sebagai sarana pembinaan kerohanian masyarakat dan sebagai penyimpan dokumen kegiatan masjid. Juga berfungsi untuk pendidikan, informasi, penelitian, rekreasi, publikasi, deposit, dan interpretasi. Sejarah Islam mencatat bahwa masjid merupakan pusat perkembangan peradaban umat Islam. Salah satu kunci keberhasilan masjid sebagai pusat pengembangan peradaban adalah berfungsinya perpustakaan masjid.

Karya Literasi Terhebat adalah Alqur’an

Setiap para Nabi Allah Swt, diberikan wahyu dan mukjizat dalam upaya menyebarkan dakwahnya. Alqur’an adalah sebagai mukjizat terbesar dari semua mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah Swt kepada para Nabi sebelumnya dan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri. Proses kodifikasi (pencatatan, pendataan, kategorisasi, klasifikasi) wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ditulis dengan berbagai cara dan media pada waktu itu seperti, pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang.

Pasca Rasulullah SAW meninggal, terdapat kebutuhan untuk membukukan dan menstandardisasi Alqur’an agar tetap utuh dan terjaga keotentikannya. Para khalifah, dimulai dari Abu Bakar As-Shiddiq hingga Utsman bin Affan merasa perlu untuk mengumpulkan dan membukukan Alqur’an menjadi kesatuan yang utuh. Beberapa sahabat yang diberikan tugas untuk penghimpunan, pendataan, pencatatan, penulisan wahyu yang diturunkan secara berangsur-angsur adalah Ubay bin Ka’ab RA, Said bin Al-As, dan Abdurrahman bin Al-Harits. Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari. Mahakarya literasi dalam bentuk Mushaf Alqur’an sampai saat ini yang menjadi pedoman hidup memberikan kemuliaan kepada kita semua.

Literasi dalam Alqur’an yang terangkum dalam ayat-ayat tentang perintah serta motivasi untuk membaca dan menulis dalam arti yang seluas-luasnya menempati posisi sentral bagi proses konstruksi dan pengembangan ilmu peradaban Islam. Tumbuh suburnya ilmu pengetahuan di era keemasan Islam pada masa Islam Klasik merupakan bukti akan pentingnya kemampuan, semangat, serta keberanian berliterasi untuk memberikan kontribusi keilmuan yang dapat disosialisasikan kepada umat Islam pada zamannya dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.

Dalam makna yang dinamis dan aksiologis, literasi Alqur’an adalah langkah akseleratif dan sistematis dalam menumbuh kembangkan tiga kemampuan utama dalam berinteraksi dengan Alqur’an yaitu kemampuan membaca, menulis dan menghafal Alqur’an. Pada tahap ini ditemukan sejumlah metode yang populer. Sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Alqur’an ada sekitar 100 ayat perintah untuk berfikir dan menghayati. Artinya literasi memiliki kedudukan penting sebab literasi sebagai bagian dari pendidikan atau aktivitas menuntut ilmu bagi kita semua. Sama seperti literasi pada umumnya, literasi Alqur’an juga merupakan literasi berbasis skills atau keterampilan, bukan hobi atau minat atau bakat. Untuk terampil membacanya dibutuhkan tekat yang kuat dan semangat yang tinggi.

DKM, Remaja dan Pemuda Masjid Giatkan Literasi Perpustakaan

Kejayaan Islam masa Abasiyah dan Umayah membuktikan bahwa Islam saat itu dikenal sangat dekat dengan literasi. Terdapat banyak bukti sejarah mengenai hal tersebut, mulai dari keberadaan perpustakaan masjid, banyaknya ilmuwan muslim yang menulis kitab, buku, manuskrip berbagai disiplin ilmu dan lainnya. Sejarah juga mencatat bahwa salah satu kemunduran Islam juga tidak terlepas dari kebiasaan umat islam sendiri yang justru “meninggalkan” budaya literasi. Hal ini juga yang kemudian di zaman yang serba semakin maju dan modern, justru umat Islam “terkesan” semakin mundur, khususnya dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan.

Pengurus Masjid (DKM), remaja, dan pemuda masjid sangat berperan penting dalam memakmurkan masjid dengan berbagai aktiftias jamaahnya. Menggagas perpustakaan masjid untuk peradaban literasi di era kemajuan umat Islam dan teknologi sangatlah efektif, tidak boleh apriori apalagi alergi dengan ledakan teknologi yang terjadi. Bersikap apriori apalagi alergi berarti ketertinggalan yang akan diraih. Pengurus Masjid (DKM), remaja, dan pemuda masjid merupakan pengelola perpustakaan masjid untuk mengisikan buku-buku yang menarik peminat baca-tulis (literasi), dan minta saran buku apa yang harus diadakan.

Perpustakaan masjid merupakan tempat pembelajaran sepanjang masa bagi umat. Karya-karya ulama atau literatur ke-islaman dan koleksi lainnya akan memberikan kekayaan khazanah  keilmuan bagi umat lslam. Masyarakat memperoleh pengetahuan karena masjid menyediakan sumber-sumber informasi yang beraneka ragam untuk mendukung proses pembelajaran. Koleksi  yang dimiliki perpustakaan tidak hanya tentang keislaman, tetapi juga aneka bidang ilmu, seperti sosial, politik, kesehatan, seni dan sebagainya. Berarti memberi peluang kepada anggota jamaah masjid dalam aktifitas membaca.

Menggiatkan literasi perpustakaan masjid mesti diawali dengan komitmen, konsistensi dan berkelanjutan dalam penyediaan ruangannya. Penyediaan koleksi buku di perpustakaan diantaranya adalah, kitab-kitab sastra klasik, majalah, serta buku-buku nonfiksi dengan beragam topik: Islam, sains, budaya, kaligrafi, dan sosial. Perpustakaan Masjid merupakan sarana sumber belajar penting yang harus ada di setiap masjid karenanya seringkali dianalogikan sebagai “jantung”. Dalam pengelolaannya, agar-benar-benar berfungsi sebagai “jantung”, harus dikelola dengan berdasarkan standar manajemen perpustakaan masjid.

Maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab para pengurus masjid (DKM) untuk mengadakan perpustakaan masjid, memberi fasilitas kepada anggota jamaah masjid yang akan terus membaca dan mengembangkan ilmu pengerahuan, dalam waktu yang tidak terbatas. Program dan kegiatan Literasi Perpustakaanyang dapat dilakukan yaitu workshop, bimbingan, kursus, madrasah literasi. Cipta karya literasi dapat dipublikasikan atau diterbitkan di laman website/media online baik yang dimiliki masjid atau lembaga lainnya.

Jamaah Berlatih Secara Simultan dalam Menghasilkan Karya Literasi

Dilansir dari Buku Pedoman Penyelenggaraan  Perpustakaan Rumah Ibadah terbitan Perpustakaan Nasional (2011) disebutkan bahwa  perpustakaan rumah ibadah dikategorikan sebagai perpustakaan khusus. Namun, perpustakaan rumah ibadah lebih tepat dimasukkan dalam kategori Perpustakaan Umum karena perpustakaan  ini lebih terbuka bagi umat dan masyarakat umum disekitarnya tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi.

Pada dekade 1990-an Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah membentuk Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia (BPPMI)  sebagai usaha pengembangan fungsi masjid yang tidak hanya sebagai rumah ibadah, tetapi juga sebagai lembaga sosial keagamaan. Karena itu, keberadaan masjid diharapkan dapat menjadi  sentral budaya umat Islam. Terkait dengan hal ini, pada tanggal 25 Februari 1991 Menteri Agama RI mengukuhkan BPPMI melalui SK Dewan Masjid Indonesia (DMI) Nomor: 06/DMI/PP/KPTS /II/1991 sebagai bagian dari usaha penguatan peran masjid bagi pusat pembelajaran umat.

Salah satu bagian dari usaha penguatan peran masjid bagi pusat pembelajaran umat adalah perpustakaan masjid mempunyai peran strategis dalam khazanah penyelamatan dan  pelestarian naskah-naskah Islam Nusantara yang berada di masjid. Karenanya, penguatan membaca itu diperlukan dorongan dan latihan, sehingga jamaah akan menjadi insan  yang maju dan lebih sejahtera, disebabkan banyak hal diketahui dan dipahami. Hal itu terjadi akibat dari banyak membaca. Mengenal teori sesuatu pekerjaan, kemudian mempraktekkanya dalam pelaksanaan pekerjaan itu, adalah merupakan keharusan.

Rasulullah SAW telah membudayakan kemampuan baca tulis itu, dengan daya upaya yang keras, menggunakan masjid sebagai tempat pengembangan baca tulis (literasi), yang selanjutnya upaya itu diteruskan oleh para sahabat dan tabiin, seterusnya dari  generasi ke generasi. Maka sangat rasional, bila kemampuan baca tulis (literasi) itu diikuti pengumpulan buku, baik hasil tulisan mereka sendiri ataupun hasil penulisan dari manapun, untuk menambah wawasan, keterampilan, dan pengembangan daya nalar bagi umat.

Membudayakan gemar membaca, tentulah tidak mudah. Tetapi pembudayaan membaca itu wajib dilakukan, daya literasi itu penting, tidak hanya sekadar membaca. Dengan tersedainya  perpustakaan masjid diharapkan kecintaan kepada sikap gemar membaca dan menulis mulai tumbuh, terutama sekali bagi para remaja, pemuda, jamaah. Manfaatkan HP, Laptop, atau media lainnya. Selamat mengelola perpustakaan masjid dengan keseruan berbagai aktifitas menulisnya.

#Salam Literasi; Indonesia Berkarya!

Dokfoto: Intenet.