Peran Al-Irsyad Al-Islamiyyah sebagai himayatul ummah (penjaga ummah) dan shadiqul hukumah/patner pemerintah, tetap dan akan konsisten menjaga keutuhan umat dan bangsa
Hidayatullah.com | SAAT untuk pertama kalinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah didirikan, 6 September 1914, ide dan pemikiran tentang konsep al-Musawa menjadi salah satu jargon perjuangan dakwah yang diusungnya.
Al-Musawa, adalah buah pemikiran Syaikh Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad dalam kerangka tajdid di bidang keagamaan (syariat Islam) terhadap diskriminasi dalam masyarakat yang dijumpainya pada masa Hindia Belanda di abad ke 20.
Konsep Al-Musawa ini bermakna keseteraan derajat, menandakan betapa pentingnya kemerdekaan individu untuk membangun jiwa-jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku sebagai dasar kemajuan dan hakekat kemerdekaan sebuah bangsa.
Dalam padangan Syaikh Ahmad Surkati, Islam sebagai agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan tampak jika dilihat dari sudut pandang Ibadah mahdhoh saja atau ritual semata, akan tetapi harus dilihat pula sebagai fakta sosial, karena al-Islam sudah mengatur tata hubungan antar sesama manusia.
Pelembagaan kehidupan sosial yang didasarkan pada ajaran agama inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Sepemikiran dengan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, tokoh ikonik Pan Islamisme, Syaikh Ahmad Surkati berupaya memecah tembok eksklusif kaum Muslimin yang dijumpainya dalam kalangan masyarakat Arab di Indonesia saat itu, dimana tidak sedikit yang memperniagakan agama dan status sosial tertinggi yang diklaimnya, demi untuk mengambil keuntungan pribadi dan mengukuhkan status dan hak istimewa yang disandangnya.
Syaikh Ahmad Sukarti juga sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan.
Sikap anti penjajahan itu diperlihatkannya pula dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (al-musawa). Menurut Syaikh Ahmad Surkati, “Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah” (Darmansyah, dkk. 2006, hal. 10-11).
Masih dalam abad ke 20, saat dimana tengah tumbuh suburnya sikap patriotisme dan nasionalisme “rakyat Indonesia” sebagai respon terhadap diskrimani dan kontrol politik yang ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam waktu yang hampir bersamaan sejak kedatangan Syaikh Ahmad Surkati (Oktober 1911) dan lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah (September 1914), dianggap sebagai start point adanya kesadaran umat Islam Indonesia tentang perlunya berorganisasi dan perjuangan umat dalam bentuk kebersamaan.
Birsi Affandi dalam disertasi Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1945): Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (1999), berhasil mengumpulkan pengakuan terhadap ketokohan Ahmad Surkati, sebagai tokoh yang telah memberi inspirasi akan adanya rasa persamaan dan kebangkitan kesadaran yang terorganisir.
Dalam kata lain, beliau merupakan soko guru para pembaharu Islam di Indonesia yang oleh sejumlah kalangan digelarinya sebagai Syaikhul Masyaikh, atau Mufti dikalangan para ulama tajdid.
A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis), menuturkan bahwa, Surkati adalah gurunya. Begitu pula dengan para reformis Islam lainnya seperti pendiri Persis Haji Zamzam dan pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan, meraka adalah sahabat sekaligus murid dari prinsip dan pemikiran Syaikh Ahmad Surkati.
Gagasan pertama dalam membangun kebersamaan yang telah dimainkan oleh Syaikh Ahmad Surkati sebagai tokoh central di Al-Irsyad adalah, turut diprakarsainya penyelenggaraan Al-Islam Congres di kota Cirebon pada tahun 1922.
Bahkan dalam kongres umat Islam pertama itu Surkati menjadi tokoh utama dalam sebuah sesi perdebatan saat berhadap-hadapan dengan Semaoen dengan mengangkat topik tentang konsepsi dasar yang akan dicapai dalam rangka memerdekakan Indonesia.
Di forum yang sama, Syaikh Ahmad Surkati turut pula menyampaikan makalahnya dan dikenal sebagai lezing Soerkati dengan mengangkat tema tentang; Hak Soeami Isteri . Lezing itu dibacakan dihadapan para peserta kongres oleh Abdoel Moethalib Sangadji, lebih dikenal dengan nama A. M. Sangadji, aktivis Jong Islamieten Bond yang dijuluki sebagai Jago Tua dan telah dianugerahi sebagai pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.
Ahmad Surkati juga dikenal sebagai tokoh umat yang mengedepankan ukhuwah Islamiyyah. Ia menghormati tokoh-tokoh Islam yang berbeda paham dan pendapat dengannya, dan tetap mengedepankan kesantunan sebagai modal menjalin ukhuwah.
Maka ia pun menyeponsori pelaksanaan forum diskusi di Surabaya pada tahun 1929, yang melibatkan para ulama tradisional dan ulama reformis. Forum ini bertujuan untuk menjalin hubungan yang baik antara kedua kelompok.
Di forum itulah Syeikh Ahmad Surkati bertemu dengan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, seorang kiai besar dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang, kiai kharismatik yang paling dihormati oleh kalangan umat Islam di Indonesia dan juga pendiri ormas besar Nahdlatul Ulama (NU).
Bahkan setelah pertemuan itu Syekh Ahmad Surkati melemparkan pujian kepadanya, “Saya baru pertama kali bertemu dengan beliau (Kiai Hasyim Asy’ari) dalam satu jamuan. Melihat bawaan badannya, saya tertarik. Beliau seorang ulama yang zahid. Dan dari tulisan-tulisannya, kelihatan pemahamannya dalam mazhab Syafi’i amat dalam dan luas.”
Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir sebagai akibat dari sikap protes atas berkuasanya Ibn Saud menggantikan kekuasaan Syarif Hussein di Hejaz dan Nejed, demi menjaga terjalinnya hubungan yang tetap baik dengan kalangan tokoh Nahdlatul Ulama, terutama dengan KH Hasyim Asy’ari, Syaikh Ahmad Surkati menolak jabatan menjadi perwakilan Pemerintah Kerajaan Saudi di Batavia atas permintaan sahabatnya Abdul Aziz bin Abdul Rahman al-Saud, raja Arab Saudi pertama. Hal itu terungkap dari surat menyurat antara keduanya yang dimuat dalam majalah al-Kharaabil, terbit di Riyadh, Saudi Arabia.
Sikap penolakan Syaikh Ahmad Surkati tersebut, selain pilihannya untuk memelihara hubungan yang baik dengan kalangan Nahdliyin, tujuan utamanya adalah karena adanya misi besar yang jauh lebih penting dalam rangka membangun komunikasi guna menyusun persatuan dan kesatuan bangsa bersama seluruh elemen umat Islam di Indonesia, yaitu sama-sama untuk berada dalam barisan yang kokoh menyusun kekuatan menghadapi belenggu penjajahan dan cita-cita untuk memerdekakan bangsa Indonesia.
Al-Irsyad dulu sangat aktif dan berperan dalam pembentukan Majlis Islam ‘A’laa Indonesia atau MIAI, sebuah badan federasi bagi ormas Islam yang dibentuk dari hasil pertemuan 18-21 September 1937 di Surabaya.
Federasi ini dibuat sebagai upaya penyusunan kekuatan umat Islam yang terkenal dengan jargon heroiknya samen bundeling van alle Islamic Krachten. Di federasi ini Ahmad Surkati duduk sebagai Dewan Penasihat dan Oemar Hoebeis muridnya ditunjuk sebagai sekretaris II MIAI.
Konsistensi Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam memelihara persatuan yang hidup bersama dalam kemajemukan ini akan terus dibina dan tetap terpelihara, disamping tujuan utamanya dalam menjaga akidah umat tetap consen dilakoninya.
Hal itu ditunjukan lewat kontribusinya pada bidang dakwah melalui sikap serta program-program yang berbasis pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi yang senantiasa menanamkan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, faham Islam wasathiyah, Islam yang moderat dan religius yang penuh tasamuh dan toleran.
Konsistensi sebagai ormas yang mengedepankan ukhuwah Islamiyyah itu ditunjukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah melalui forum-forum nasionalnya yang melibatkan berbagai tokoh ormas Islam sebagai nara sumber kegiatan.
Sebut saja antaranya adalah; KH Hasyim Muzadi (NU), KH Said Aqil Siradj (NU), KH Ma’ruf Amin, Dr Machfudz MD, dll. (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, Mantan Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).
Bersama Rabithah Alawiyah, Al-Irsyad Al-Islamiyyah membangun kerjasama ukhuwah yang erat dan terus akan terbina. Bahkan pucuk pimpinan kedua ormasnya pernah menjadi nara sumber dalam kegiatan silaturahmi bersama, terutama pada tingkat nasional.
Dinamika yang pernah dialami dalam sejarah panjang keduanya, menjadi khazanah sejarah sebagai peristiwa dan pelajaran berharga dalam rangka menumbuhkan sikap kedewasaan berfikir serta berlimu yang dibingkai indah melalui ikatan ukhuwah Islamiyyah, bekerjasama untuk kebaikan dan kemashlahatan umat, bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Demikian pula peran Al-Irsyad Al-Islamiyyah sebagai himayatul ummah atau penjaga ummah dan shadiqul hukumah atau patner pemerintah, tetap dan akan konsisten dilakukan di dalam menjaga keutuhan umat dan bangsa. “Namun tetap menegakkan amar dan nahi anil munkar dengan cara yang bijak dan baik,” (sumber; KH Abdullah Al-Jaidi, mantan Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah).
Lebih dari itu bahwa Al-Irsyad adalah ormas yang tidak berafiliasi kepada partai politik manapun dan tidak terlibat dalam politik praktis. Tetapi dalam rangka menyatukan umat dan bekerja sama di dalam rangka izzatul Islam wal Muslimin, Al-Irsyad akan selalu menjadi yang terdepan. “Kita berada dalam wadah MUI bersama-sama ormas yang lain, karena visi, misi MUI sesuai dengan Al-Irsyad Al-Islamiyyah”.*/Abdullah Abukabar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian Al-Irsyad Bogor
– hidayahtullah.com