Penulis: KH. Abdul Hanan

(Khotib dan Imam Shalat Jum’at Masjid Baitul Huda)

Bekasi.baitulhuda.org.news (Ahad 30/07/2023).

Khutbah-I

Jamaah Jum’at Rahimakumullah!

Pada kesempatan istimewa ini marilah kita gunakan untuk melakukan koreksi diri, agar selalu berupaya meningkatkan takwallah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi yang dilarang. Kalau hal ini terus dilakukan, maka kita akan termasuk hamba yang beruntung, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak.

Jamaah Jum’at yang Dimuliakan Allah SWT!

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan sebagai berikut:


Artinya: Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang menyelamatkan antara lain: (1) Takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain: (1) Bakhil yang kelewatan, (2) nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.
 

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang harus kita waspadai. Tiga penyakit perilaku yang terakhir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya, menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
 

Pertama, takwa kepada Allah

Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa, maka yang terbayang sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiah lainnya. 

Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, serta akidah, syariah, dan akhlak. Karena dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri.

Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawan muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti. Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah merasakan bahwa  kita terlihat begitu baik dan salih saat bersama orang lain dan begitu batil dan durhaka saat sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata “sendirian” karena ia berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari pengamatan Allah.
 

Dalam surat At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:


Artinya: Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.


Jamaah Jum’at Rahimakumullah!

Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah.

Dalam riwayat lain disebutkan: Berlaku adil dalam kondisi ridla maupun marah atau al-‘adlu fir ridla wal ghadlab. Emosi yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Yang halal tetap halal kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A dan si B walaupun salah satunya adalah seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran beda mazhab, golongan atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kita sendiri, kerabat atau anak sendiri.


Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri agar senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap terhadap mereka. Karena itu, berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan lawan dari perilaku merusak i‘jâbul mar’i binafsih atau ujub terhadap diri sendiri. Membanggakan diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ.

Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin.

Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan melainkan sebatas sarana yakni wasîlah, karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di antara pelit dan mubazir yakni pemborosan dan hura-hura. Kesederhanaan juga merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan kebutuhan. Karena kebutuhan senantiasa mempunyai porsi, sementara keinginan tak terbatas.


Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apa pun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya dan juga hak untuk orang lain. Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam berekonomi.

Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta berlebih yang ia miliki. Jangan sampai kita menjadi sangat kikir atau syuhhun muthâ‘, yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam hadits di atas. Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan seseorang.

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
 

Artinya: Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu. (HR Abu Dawud).


Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.

Khutbah-2

Editor: Yoni Haris Setiawan

Korenspondensi/Dok. Foto: Jamaludin Sopandi